Dulu Di Sepelekan, Kini
Kerap Diundang Jadi Penyuluh
Seiring laju zaman, profesi di bidang
pertanian makin di jauhi generasi muda. Butuh inovasi agar dunia agraris tetap
mampu memberi kehidupan yang lebih untuk pekerjanya. Bambang Sugianto, pekebun
asal Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, membuktikannya.
ADI FAIZIN, Sumberjambe
BAMBANG Sugianto tampak semangat pagi
itu. Di daulat untuk memberi penyuluhan dan berbagi pengalaman dalam
membudidayakan tanaman kapulaga (Bahasa Jawa, Kapulogo, Red), dia fasih
menjelaskan betapa mudah dan menguntungkannya tanaman tersebut untuk di
budidayakan.
Maklum
saja, Bambang sudah lebih dari enam tahun membudidayakan kapulaga dengan sistem
Wanafarma (pemanfaatan lahan bawah tegakan, PLBT, semacam sistem tumpangsari
dalam dunia pertanian). “Kapulaga ini prospeknya masih cerah. Perawatannya
murah dan mudah,” tutur Bambang di depan masyarakat Desa Kamal, Kecamatan
Arjasa.
Pada
ahad pagi itu, dia memang di minta untuk berbagi pengalaman dan ilmunya dalam
acara gerakan penghijauan yang di gelar sekelompok mahasiswa menamakan di GenBi
di Desa Kamal Arjasa. Sengaja tanaman kayu yang di tanam adalah kapulaga.
Selain untuk menjaga kelestarian alam, tanaman kayu tersebut juga di nilai
punya prospek ekonomi yang baik.
“Karena
itu kami pilih tanaman kapulaga. Tanaman ini sekarang lagi tren karena punya
nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat,” tutur Egar Prasetya Putra
Wardana, salah satu mahasiswa yang menjadi ketua panitia acara penanaman pohon.
Sejak
dua tahun terakhir, Bambang memang kerap di minta oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Timur untuk memberikan penyuluhan mengenai budidaya kapulaga. Pasalnya,
Bambang di nilai cukup sukses dalam merintis dan mengembangkan tanaman yang di
ambil manfaat dari rumpunnya tersebut. Bambang mengembangkan budidaya kapulaga
di Desa kelahirannya, Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe.
Kapulaga
ia tanam bersama tanaman pohon keras seperti sengon dan jati yang memang banyak
di budidayakan di daerah Jember bagian utara.
“Niatnya
memang untuk menambah penghasilan sembari menunggu panen sengon yang bisa
memakan waktu sampai lima tahun ke atas,” pria berusia 45 tahun tersebut.
Bambang
tak ingin sukses sendiri. Ia juga mengajak tetangga-tetangga nya dengan
membentuk kelompok tani atau poktan. Dia menggunakan nama poktan Santuso 2.
“Santuso itu di ambil dari nama kakek saya, karena saya ingin meniru kesuksesan
beliau dalam bertani. Almarhum kakek saya sering dapat penghargaan sebagai
petani terbaik,” lanjut Bambang.
Awalnya
memang tidak mudah untuk mengajak rekan-rekannya sesama pekebun di Desa
Sumberpakem untuk juga membudidayakan kapulaga dengan menggunakan sistem
wanafarma bersama sengon. Sebelumnya tanaman yang memiliki nama latin Amomum compactum itu banyak di Desa
tersebut secara liar dan tidak di budidayakan secara khusus. “Mereka semula
ragu bahwa kapulaga ini bisa menguntungkan kalau di budidayakan, karena
biasanya tumbuh liar,” tutur Bambang.
Namun
Bambang tidak menyerah. Dia terus berusaha merangkul warga untuk bersama-sama
menanam kapulaga. Untuk memperkuat
pemasaran, mereka membentuk poktan santuso 2. Pada tahap awal, Bambang
mendatangkan bibit kapulaga dari Banyuwangi. “Kita memakai poktan agar lebih
kuat pemasarannya. Jadi hasil kapulaga warga di beli poktan untuk dibantu
pemasarannya. 40 persen dari laba masuk ke kas poktan untuk kemudian di olah
lagi,” jelas pria yang menempuh pendidikan terakhir di SMEA yang ada di pondok
pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo ini.
Perlahan-lahan,
usahanya itu mulai mebuahkan hasil. Melalui poktan, kapulaga hasil budidaya
warga bisa di jual di kisaran harga Rp 45 ribu per kilogram. “Harganya
fluktuatif, tergantung kondisi pasar. Tapi tetap saja menguntungkan petani.
Sejauh ini juga tidak ada kendala berarti,” aku Bambang.
Jumlah
anggota poktan Santuso 2 pimpinan Bambang juga melonjak. Kini anggotanya
tercatat mencapai 165 orang di Desa Sumberpakem, dengan total luas lahan
mencapai 5 kilometer. “Lahan saya sendiri sekitar 300 meter persegi,” ujar
Bambang saat menjamu Jawa Pos Radar Jember di laboratorium produksi yang ada di
samping rumahnya tersebut.
Dengan
lahan seluas sekitar 200 meter persegi, umumnya dapat di tanam sekitar 500
rumpun pohon kapulaga. Dari jumlah tersebut, dalam sekali panen bisa di
hasilkan sekitar 250 kilogram umbi kapulaga kering yang merupakan hasil akhir
pasca panen. Tanaman kapulaga sendiri baru bisa di panen setelah berusia di
atas satu tahun. Dalam setahun, panen dapat di lakukan sebanyak tiga kali.
“Setelah satu tahun, bisa tumbuh terus sampai bertahun-tahun,” tutur bapak dua
anak ini.
Dengan
harga biji kapulaga kering yang bisa di jual di kisaran Rp 40 ribu, maka dengan
200 meter setidaknya bisa di dapatkan omset kotor mencapai sekitar Rp 10 juta
per satu kali panen. “Tanaman ini relatif tahan lama. Sejauh ini kami belum
pernah mengalami gagal panen karena masalah hama dan gangguan teknis pertanian
lainnya,” cerita Bambang.
Bambang
hanya menggunakan pupuk ZA di campur urea dengan perbandingan 1 : 1. Untuk
lahan seluas 300 meter, dia hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 ribu per
bulan nya.
Tak
puas hanya menjual biji kapulaga kering, Bambang kemudian mengembangkan
usahanya dalam bentuk kopi kemasan. Menggunakan bendera bisnis Poktan Santuso
2, Bambang merintis bisnis kopi kapulaga. “Setahu saya, di Jember belum ada
kopi kapulaga. Dari informasi yang saya terima, kopi kapulaga ini punya banyak
manfaat untuk kesehatan tubuh manusia,” klaim Bambang.
Saat
Jawa Pos Radar Jember di ajak mencicipi kopi kapulaga produksi Poktan Santuso
2, memang terasa aroma yang khas dan rasa menyegarkan di tenggorokan. Tak hanya
di campur dengan kapulaga, kopi hasil sangraian Poktan Santuso 2 juga di campur
dengan jahe dan kayu manis sebagai komposisi bahan alaminya. “Jahe dan kayu
manis juga hasil produksi warga di sini,” tutur pria kelahiran 25 februari 1972
ini.
Bambang
menggunakan biji kopi Robusta dari Desa tetangga, Yakni Desa Rowosari,
kecamatan Sumberjambe. “Pernah juga saya coba beralih menggunakan biji kopi
dari desa lain, tapi rasanya kok jadi berbeda, berkurang cita rasanya. Karena
itu kami putuskan tetap menggunakan biji kopi Robusta dari Desa Rowosari,” ujar
Bambang.
Sejauh
ini, produksi kopi kapulaga milik Poktan Santuso 2 memang belum terlalu besar,
hanya di kisaran belasan kilogram di tiap bulannya. Pesanannya pun fluktuatif.
Dia juga masih menggunakan cara konvensional, berdasarkan pesanan dan banyak
mempromosikan melalui pameran-pameran yang difasilitasi pemerintah. Namun
keberhasilan Bambang mengembangkan kopi kapulaga juga di lirik oleh desa
lainnya.
“Sejak
dua tahun terakhir, saya di minta membantu pengembangan kapulaga di Desa
Cumedak, Kecamatan Sumberjambe. Di sana, lahannya sudah mencapai sekitar 5
hektar juga,” jelas Bambang. Selain itu, poktan santuso 2 kini juga
mengembangkan pembibitan kapulaga untuk melayani permintaan dari berbagai
daerah. Bulan lalu, mereka memenuhi permintaan bibit untuk Bondowoso.
Untuk
memperkuat Branding dari kopi
kapulaganya, Bambang berinovasi dalam pengemasan. Selain itu ia kini juga
sedang dalam proses pengurusan PIRT agar kopi produksinya bisa di terima di
toko-toko modern.
Dengan
srangkaian inovasi nya tersebut, Bambang berharap profesi petani bisa tetap di
lirik generasi muda. “Tapi saya tidak bisa memaksa anak saya yang sekarang
masih mondok untuk ikut juga jejak
saya. Saya bebaskan saja,” pungkas Bambang. (ad/hdi)
SUMBER : JP-RJ Sabtu 30 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar