Rabu, 17 Januari 2018

Perjuangan Lasimo, Puluhan Tahun Jual Es Cendol di Pinggir Hutan



Saya Jualan Buat Bantu Yang Kehausan dari Hutan


Dagang lazimnya cari lokasi yang ideal, dekat keramaian. Namun Lasimo berpikir sebaliknya. Kakek 83 ini puluhan tahun malah jualan es cendol di pinggir hutan. Niatnya jualan, ternyata untuk membantu orang yang kesulitan mencari air di kawasan hutan Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu.

                   
     JUMAI-RANGGA,Ambulu
 
BAGI masyarakat yang hendak masuk ke Dusun Ungkalan, Desa Sabrang, Ambulu, kini jauh lebih mudah dengan berdirinya jembatan gantung yang di bangun oleh Pemkab Jember pada 2014 lalu. Padahal, dahulu warga harus melewatinya dengan menyeberang menggunakan rakit atau jembatan kayu yang di bangun oleh masyarakat. Jika tidak, maka harus memutar sekitar 10 kilometer dengan melewati Kota Blatter, Tempurejo.

Setelah melewati sungai di Dusun Ungakalan inilah, kita akan masuk hutan jati milik PT Perhutani.

Nah, di bawah rimbunan pohon jati itulah ada sebuah tempat sederhana semacam gubuk darurat.

Tak ada bangunan lain. Dan gubuk itu agak jauh dari lokasi perkampungan. Dimana gubuk ini berlokasi dengan Pos mandor PT Perhutani Ungkalan Desa Sabrang. Besar gubuk hanya sekitar 3,5 x 2,5 meter saja. Di gubuk itulah, seorang pria tua biasa menjual es cendol yang ‘legendaris’ di kawasan pinggir hutan tersebut.

Hampir semua orang yang pernah ke Ungkalan akan mengenal sososk pria tua yang di kenal dengan nama Lasimo ini. “Kalau jualan cendol pun mulai tahun 1967,” ucap warga Dusun Bregoh Lor Desa Sumberejo, Ambulu ini. Kakek berusia 83 tahun itu mengaku, biasa menempuh jarak 3 kilometer dari tempat tinggal nya, untuk berjualan es cendol di pinggir hutan itu.

Dirinya mengaku sudah puluhan tahun berjualan es cendol di sana. “Dodolane cendole mbiyen mek limang repes (dulu jualan cendol harganya hanya Rp 5 per gelasnya),” ucap pria yang kini memiliki 12 cucu ini. Di mana waktu itu, Mbah Lasimo (panggilan akrabnya) selalu membawa es batu balok dengan harga sekitar Rp 150.

Selama berpuluh tahun menekuni pekerjaan itu, dia datang berjualan dengan naik sepeda angin. Namun dalam lima tahun terakhir, baru menggunakan becak. “Sudah tua, tenaga berkurang,” kata Mbah Lasimo.

Jika sakit, biasanya jualan cendol di gantikan oleh cucunya. “Karena kami tak ingin masyarakat yang sudah kadung langganan kecewa,” ujarnya.

Banyak cerita suka dan duka dalam berjualan es cendol di pinggir hutan ini. “Kalau sudah kenal, sering tidak langsung bayar. Karena tahu mungkin belum punya uang,” ucapnya.

Bukan hanya pada orang yang sudah kenal, dirinya bahkan sering memberi es cendol gratis kepada orang yang kebetulan mampir. Dirinya hanya yakin, kebaikan yang di tanamkan itu akan membekas di hati orang tersebut.

Pernah, dirinya di datangi oleh rombongan sekitar 10 orang. Semuanya memesan es cendolnya. “Tapi semua pergi. Tidak ada yang bayar. Mungkin lupa,” ucap pria yang memang sangat ramah senyum itu. Mbah Lasimo pun mengikhlaskan begitu saja.

Namun pengalaman yang membuatnya terharu adalah saat ada pencari rumput yang sepedanya bocor di tengah hutan. “Tukang tembel jauh,” ucapnya. Dirinya pun rela sepedanya di bawa pulang oleh orang tersebut, untuk membawa rumput ke rumah.

Mbah Lasimo sendiri kemudian membawa sepeda bocor itu untuk di tambal. Baru keesokan harinya sepedanya di tukar kembali.

Suami Sumaiyah, 78, ini pun menceritakan jika Ungkalan tidak ramai. Hanya ada puluhan orang yang menyebrang sungai itu. Dimana, waktu itu dirinya hanya melayani orang yang menyebrang untuk mencari kayu dan dan pencari rumput saja. Karena sebagian besar wilayah itu masih berupa hutan. Dirinya pun mengaku berjualan mulai pukul 08.00-14.00 usai warga pulang mencari kayu dan rumput. 
 
Namun dirinya mengaku melani dengan iklas. “Jualan ini buat bantu saja. Karena kesulitan kalau mau mencari minum,” jelasnnya. Lama kelamaan maki banyak warga yang datang kesana himngga perkampungan yang ada di tengah hutan Ungkalan inin pun semakin banyak dan ramai. Apalagi, kini banyak warga luar yang datang keUngkalan, utamanya setelah mulai di eksplore wisata pantai Cangakan.

Bukan hanta tukang rumput dan kayu saja, namun juga masyarakat yang pulang dan pergi ke pasar pun banyak yang membeli cendolnya. Sehingga banyak orang yang melintas sehingga membuat harga cendolnya pun naik mengikuti harga ekonomi yang ada. Meskipun sebenarnya harga jual cendolnya tidak mahal, bahkan bisa di katakana sangat murah. “Dulu sempat jualan Rp 20 saja. Lalu naik ke Rp 25. Kalau sekarang Rp 2 ribu,” Pungkasnya. (ram/c1/hdi)

Sumber: JP-RJ Jumat 18 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenang Wartawan Senior Jawa Pos, H Khariri Mahmud

Rela Jualan Bakso Demi Kuliahkan Dua Puterinya                 Keluarga besar alumni wartawan dan karyawan Jawa Pos yang tergabung ...