Saya Jualan
Buat Bantu Yang Kehausan dari Hutan
Dagang
lazimnya cari lokasi yang ideal, dekat keramaian. Namun Lasimo berpikir
sebaliknya. Kakek 83 ini puluhan tahun malah jualan es cendol di pinggir hutan.
Niatnya jualan, ternyata untuk membantu orang yang kesulitan mencari air di
kawasan hutan Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu.
BAGI masyarakat yang hendak masuk ke Dusun Ungkalan,
Desa Sabrang, Ambulu, kini jauh lebih mudah dengan berdirinya jembatan gantung
yang di bangun oleh Pemkab Jember pada 2014 lalu. Padahal, dahulu warga harus
melewatinya dengan menyeberang menggunakan rakit atau jembatan kayu yang di
bangun oleh masyarakat. Jika tidak, maka harus memutar sekitar 10 kilometer
dengan melewati Kota Blatter, Tempurejo.
Setelah
melewati sungai di Dusun Ungakalan inilah, kita akan masuk hutan jati milik PT
Perhutani.
Nah, di bawah
rimbunan pohon jati itulah ada sebuah tempat sederhana semacam gubuk darurat.
Tak ada bangunan
lain. Dan gubuk itu agak jauh dari lokasi perkampungan. Dimana gubuk ini
berlokasi dengan Pos mandor PT Perhutani Ungkalan Desa Sabrang. Besar gubuk
hanya sekitar 3,5 x 2,5 meter saja. Di gubuk itulah, seorang pria tua biasa
menjual es cendol yang ‘legendaris’ di kawasan pinggir hutan tersebut.
Hampir semua
orang yang pernah ke Ungkalan akan mengenal sososk pria tua yang di kenal
dengan nama Lasimo ini. “Kalau jualan cendol pun mulai tahun 1967,” ucap warga
Dusun Bregoh Lor Desa Sumberejo, Ambulu ini. Kakek berusia 83 tahun itu
mengaku, biasa menempuh jarak 3 kilometer dari tempat tinggal nya, untuk
berjualan es cendol di pinggir hutan itu.
Dirinya
mengaku sudah puluhan tahun berjualan es cendol di sana. “Dodolane cendole mbiyen mek limang repes (dulu jualan cendol
harganya hanya Rp 5 per gelasnya),” ucap pria yang kini memiliki 12 cucu ini.
Di mana waktu itu, Mbah Lasimo (panggilan akrabnya) selalu membawa es batu
balok dengan harga sekitar Rp 150.
Selama
berpuluh tahun menekuni pekerjaan itu, dia datang berjualan dengan naik sepeda
angin. Namun dalam lima tahun terakhir, baru menggunakan becak. “Sudah tua,
tenaga berkurang,” kata Mbah Lasimo.
Jika sakit,
biasanya jualan cendol di gantikan oleh cucunya. “Karena kami tak ingin
masyarakat yang sudah kadung langganan
kecewa,” ujarnya.
Banyak cerita
suka dan duka dalam berjualan es cendol di pinggir hutan ini. “Kalau sudah
kenal, sering tidak langsung bayar. Karena tahu mungkin belum punya uang,”
ucapnya.
Bukan hanya
pada orang yang sudah kenal, dirinya bahkan sering memberi es cendol gratis
kepada orang yang kebetulan mampir. Dirinya hanya yakin, kebaikan yang di
tanamkan itu akan membekas di hati orang tersebut.
Pernah,
dirinya di datangi oleh rombongan sekitar 10 orang. Semuanya memesan es
cendolnya. “Tapi semua pergi. Tidak ada yang bayar. Mungkin lupa,” ucap pria
yang memang sangat ramah senyum itu. Mbah Lasimo pun mengikhlaskan begitu saja.
Namun
pengalaman yang membuatnya terharu adalah saat ada pencari rumput yang sepedanya
bocor di tengah hutan. “Tukang tembel jauh,” ucapnya. Dirinya pun rela
sepedanya di bawa pulang oleh orang tersebut, untuk membawa rumput ke rumah.
Mbah Lasimo
sendiri kemudian membawa sepeda bocor itu untuk di tambal. Baru keesokan
harinya sepedanya di tukar kembali.
Suami Sumaiyah,
78, ini pun menceritakan jika Ungkalan tidak ramai. Hanya ada puluhan orang
yang menyebrang sungai itu. Dimana, waktu itu dirinya hanya melayani orang yang
menyebrang untuk mencari kayu dan dan pencari rumput saja. Karena sebagian
besar wilayah itu masih berupa hutan. Dirinya pun mengaku berjualan mulai pukul
08.00-14.00 usai warga pulang mencari kayu dan rumput.
Namun dirinya
mengaku melani dengan iklas. “Jualan ini buat bantu saja. Karena kesulitan
kalau mau mencari minum,” jelasnnya. Lama kelamaan maki banyak warga yang
datang kesana himngga perkampungan yang ada di tengah hutan Ungkalan inin pun
semakin banyak dan ramai. Apalagi, kini banyak warga luar yang datang
keUngkalan, utamanya setelah mulai di eksplore wisata pantai Cangakan.
Bukan hanta
tukang rumput dan kayu saja, namun juga masyarakat yang pulang dan pergi ke
pasar pun banyak yang membeli cendolnya. Sehingga banyak orang yang melintas
sehingga membuat harga cendolnya pun naik mengikuti harga ekonomi yang ada.
Meskipun sebenarnya harga jual cendolnya tidak mahal, bahkan bisa di katakana
sangat murah. “Dulu sempat jualan Rp 20 saja. Lalu naik ke Rp 25. Kalau
sekarang Rp 2 ribu,” Pungkasnya. (ram/c1/hdi)
Sumber: JP-RJ Jumat 18 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar