Tak Peduli
Meski Wira-Wiri dari Sumbersari ke Sumberklopo
Nurul Fathyah Fauzi, 29,
pengajar di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Jember berikhtiar mendampingi kelompok Tani Dusun Sumberklopo, Desa/Kecamatan
Bangsalsari. Dengan telaten dia mengajari teknik pengolahan keripik pisang,
singkong, hingga produksi beras merah.
KHAWAS AUSKARNI, Jember
NURUL merasa segan jika ilmu yang di
perolehnya hingga jenjang magister sekadar dicatat oleh para mahasiswanya. Lagi
pula, jika hanya seperti itu, perjuangannya selama kuliah dulu tidak akan
berarti maksimal.
Itulah kemudian yang membuat nya
mantab berkiprah di ranah sosial, selain
tetap menekuni rutinitasnya mengajar di kampus. Linear dengan kompetensinya
sebagai dosen agribisnis di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jember,
upaya sosial yang di tempuhnya berupa pendampingan terhadap kelompok tani di
pelosok terpencil Dusun Sumberklopo, Desa/Kecamatan Bangsalsari.
Apa yang dilakukannya sejak enam
bulan terakhir itu murni atas inisiasi sendiri. Dan bukan bagian dari tugas
kelembagaan. Tak ayal, saat berapakali dia butuh ongkos untuk kegiatan, Nurul
mesti mengatasinya sendiri. Bukan Cuma dana operasional untuk wira-wiri dari
tempat tinggalnya di Sumbersari menuju lokasi di areal menanjak Sumberklopo.
Lebih dari itu, dia juga harus
menyumbangakan uang pribadinya untuk membantu setiap proses produksi
berlangsung. Mulai pengolahan hingga packing.
Saat di Tanya berapa total uang
pribadinya yang terpakai untuk kegiatan itu, dia mengaku tak ingat pastinya,
dan memang enggan mengingat-ingat. Sebab, kata dia, apa yang di lakukannya itu
bukan soal hitung-hitungan. “Menghitung-hitung uang yang keluar hanya akan
membuat upayanya berjalan tanpa totalitas lantaran pamrih,” katanya.
Usai produk jadi dan siap jual,
dia pula yang mesti mencari pasar. Bukan ke toko penjual produk makanan, namun
langsung ke konsumen akhir yang notabene para kenalan-kenalannya.
“Alhamdulillah, dari sebagian besar konsumen yang beli keripik ordernya jalan,”
ucapnya.
Seberapa pun produk yang laku,
berapa banyak pun keuntungan yang di dapat, tetap saja proses jualan itu adalah
kegiatan sosial yang di kemas dalam rupa bisnis, bukan kegiatan bisnis yang di
desain dengan wajah sosial. Keluruh keuntungan sekaligus biaya produksinya di
muarakan kepada kelompok tani Sumberklopo.
Kendati produk sudah bisa di
terima pasar, Nurul masih menganggap upayanya bersama kelompok tani Sumberklopo
masih belum paripurna. Masih perlu di temukan formulasi system yang bisa
membuat eksistensi kegiatan itu tetap hidup dan berdikari kendati dia tinggal.
Di balik semua itu, dia
sebenarnya tak punya riwayat apa pun dalam wirausaha, sebagai produsen maupun
pemasar produk olahan. Modalnya hanya niat baik, sekadar wawasan di atas
kertas, dan keprihatinan atas nasib petani yang hampir selalu di kalahkan
pasar, terkadang juga alam.
Produk hasil pertanian yang
masih apa adanya kerap di hargai tidak fair oleh pasar dan pelaku-pelakunya.
Selain karena akses yang sempit, hasil pertanian yang cepat lekang oleh waktu
menjadi alasan bagi para petani bertekuk lutut pada mekanisme yang tak berpihak
itu.
Pada akhirnya dia memilih untuk
terjun kelompok tani Dusun Sumberklopo, Desa Bangsalsari, selain karena
anggotanya banyak yang terbelakang, juga lantaran mereka terbuka pada
pengetahuan baru. “Mereka aktif dan antusias belajar hal baru,” ujarnya.
Kelompok tani Sumberklopo sudah
lama hidup dari bercocok tanam pisang dan kopi. Dulunya, satu-satunya cara
petani untuk mendapat uang dari hasil cocok tanamnya adalah dengan menjualnya
ke tengkulak. Kerap kali harga jadi di putuskan oleh tengkulak. “Petani hanya
terima bongkokan lantaran sudah keburu butuh uang, juga akses pasar yang
sempit,” katanya.
Nurul datang kepada mereka
dengan mengenalkan konsep nilai tambah. Bahwa, petani akan memperoleh margin
keuntungan lebih tinggi jika mau dan bisa mengolah lagi hasil pertanian mereka
menjadi produk lain. (was/hdi)
SUMBER : JP-RJ Selasa
19 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar