Bukit Breksi di Jogja Bisa Jadi Acuan
Wisata Gumuk
Alih-alih
pengerukan Gumuk secara ilegal, sejatinya masih banyak alternatif lain untuk
memanfaatkan gumuk tanpa harus menghilangkan bentuk aslinya. Sektor pariwisata
dan edukasi menjadi potensi yang paling menjanjikan. Selain di ajak untuk
berwisata, juga bisa mengenal proses terbentuknya gumuk tersebut.
LINTANG ANIS BENA K, Jember
Kota
KEBANYAKAN masyarakat memandang
keuntungan keuntungan ekonomis dari gumuk hanya sekadar pada batu, pasir, dan
tanah yang di hasilkan melalui eksploitasi yang merusak fisik gumuk tersebut.
Banyak sekali produk yang bisa di hasilkan dari pengerukan gumuk, mulai dari
pasir dengan kualitas yang beragam hingga bebatuan yang jenisnya bervariasi.
Nilainya pun bisa mencapai jutaan rupiah dalam sekali penjualan.
Bahkan,
penjualan batu piring dari gumuk di Jember sudah mencapai ke mancanegara.
Terbukti dengan beberapa penelitian mahasiswa perguruan tinggi yang membuktikan
adanya investor Jepang yang datang untuk membeli batu piring hasil penggalian
gumuk di Jember.
Padahal,
di negara asalnya masyarakat Jepang memiliki gumuk sendiri. Ini merupakan
sebuah ironi, mengingat Jepang lebih memilih mempertahankan gumuknya sendiri
sebagai wilayah konservasi dan mengimpor batu piring dari negara lain. “Secara
geologi, di dunia hanya ada tiga tempat yang memiliki gumuk yaitu Jember,
Tasikmalaya, dan Jepang,” ujar Wahyu Giri Prasetyo, aktivis lingkungan di
Jember.
Padahal jika ditelusuri lebih
dalam, nilai ekonomis gumuk tidak hanya trletak pada batu dan pasirnya saja.
Jika gumuk itu bisa ditanami, maka akan muncul hasil lain yang sifatnya lebih
berkelanjutan. “Misalnya bisa ditanami sengon, nanti sengonnya ditebang dan
tidak merusak gumuk itu sendiri,” lanjutnya.
Alternatif lain adalah
pemanfaatan gumuk dari sisi pariwisata. Tak banyak yang tahu bahwa sejatinya
gumuk bisa menjadi destinasi wisata yang prospektif. Giri mencontohkan kawasam
wisata Nglanggeran dan Bukit Breksi yang berada di Sleman, Jogjakarta.
Obyek wisata ini terbentuk dari
sisa gumuk yang terkikis dari aktivitas penambangan bahan material dari warga
sekitar. Namun kemudian di jadikan kawasan cagar geologi, karena faktanya kapur
breksi yang ada di kawasan tersebut merupakan endapan abu vulkanik dari gunung
api purba Nglanggeran, sehingga pemerintah setempat memutuskan untuk
melestarikan kawasan tersebut.
Larangan penambangan ini mengubah
mindset masyarakat sekitar untuk
menjadikannya kawasan wisata, dengan menonjolkan keunikan bekas galian yang
sudah ada. Bahkan tempat tersebut di rombak sedemikian rupa hingga menjadi
semacam museum outdoor dengan
keterangan bebatuan yang di siapkan para pelaku ekonomi dan stakeholder di sana.
“Saya pernah ke Nglanggeran,
Jogjakarta. Di sana destinasi wisatanya ya hanya batu-batu besar bekas
penambangan. Namun kelebihannya, kita mendapat informasi mengenai asal usul bebatuan di sana. Berkat
perubahan mindset ini kawasan
tersebut jadi juara satu destinasi
wisata internasional,” paparnya.
Mirip dengan bukit breksi yang menjadi jujugan destinasi wisata
geologi, Jember juga memiliki gumuk-gumuk
yang saat ini tengah ‘vakum’ di gali. Ini bisa jadi potensi yang menjanjikan.”Penghasilan
ekonominya bukan dari pengerukan tambang lagi, tetapi berkembang ke pariwisata.
Bahkan juga bisa memanfaatkan pemberdayaan masyarakat, misalnya dengan
membuka pusat kuliner atau penginapan
seperti yang di lakukan di Nglanggeran,”tegas pria yang guru di SMA Darussholah
tersebut.
Sebagai ganti dari di tutupnya
penambangan gumuk, harus ada inisiasi solutif untuk memutus mata rantai
tersebut. “Menutup semua aktivitas penambangan ilegal di gumuk itu bagus,
tetapi juga harus di temukan apa yang bisa mengganti kebutuhan ekonomi para
penambang di sekitar gumuk,” ujarnya. Apalagi, lanjut dia, jika gumuk di Jember
bisa di jadikan kawasan wisata, Giri optimistis tak ada pihak yang di rugikan
apabila penambangan, baik yang terlisensi
maupun liar, di hentikan.
Potensi pemanfaatan gumuk tidak hanya pada sisi pariwisata,
tetapi juga dari sisi edukasi. Sebagai kawasan yang pernah di juluki Kota
Seribu Gumuk, Jember memiliki banyak gumuk hasil dari lontaran erupsi gunung
raung puluhan tahun lalu. Bebatuan dan pasir yang terdapat di masing-masing
gumuk pun bervariasi. “Tergantung dari lokasinya, ada yang mengalami
dekomposi,”lanjut Giri.
Kekayaan gumuk ini membuatnya
prospektif untuk menjadi lahan pembelajaran geologi. Bahkan banyak sekali
mahasiswa geologi dari perguruan tinggi lain di Indonesia datang ke Jember
untuk melihat fisik gumuk yang tercipta dari lontaran letusan Gunung Raung
dulu. Ini menjadikan Jember sebagai daerah dengan potensi geologi yang cukup
besar.
“Seandainya mahasiswa Geologi
yang datang di kenakan semacam retribusi, ini tentu membantu pendapatan daerah.
Orang datang melihat gumuknya, dapat uang, gumuknya enggak rusak. Tentunya di
dukung oleh akademisi, jadi info tentang bagaimana asal usul gumuk dan jenis
bebatuan yang ada di sana bisa di edukasi kepada masyarakat,” ujar Giri.
Pembelajaran geologi ini juga
mengingatkan kembali bahwa jember pernah terdampak letusan gunung raung. Meski
sekarang gunung tersebut jarang aktif, namun tetap harus ada antisipasi bencana
yang di siapkan oleh masyarakat setempat. “Kalu gumuk ini hilang semua, orang
lupa bahwa dampak raung pernah sampai sini dan bisa menjadi relung bencana.
Situs ini jadi pengingat bahwa kita pernah terdampak. Kalau ini hilang dan
tidak terwariskan, tidak ada antisipasi bencana letusan sebelumnya,”
pungkasnya. (ras)
SUMBER : JP-RJ Senin 18 Desenber 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar