Saat Kuliah,
Pernah 120 Kali Pameran Lukisan
Mikke
Susanto, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta asal Jember, di
kenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa, khususnya seni lukis. Bahkan
kemampuannya sebagai kurator andalan ini membuatnya berhasil menembus istana
kepresidenan RI.
LOMBA Desain Mural Tingkat Nasional yang
di gelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Jember ternyata sangat istimewa.
Bagaimana tidak, salah satu dewan juri yang datang berkelas internasional. Dia
adalah Mikke Susanto.
Dengan gaya khas seniman (rambut
gondrong), tampak dirinya tidak istimewa di bandingkan sejumlah pelukis yang
hadir dalam lomba tersebut. Bahkan, dia tampak ramah menyapa orang yang ada di
sana.
Siapa sangka, pria yang lahir di
Kencong-Jember, 22 Oktober 1973 ini, adalah salah satu curator atau kritikus
seni rupa di istana kepresidenan RI. Bahkan, kini dirinya tengah di minta
istana untuk menilai sejumlah barang seni utamanya lukisan yang
ada di istana dan lembaga pemerintah yang lainnya.
Tetapi, semua kesuksesan pria
yang kini menjadi dosen di Tata Kelola
Seni (Art Manajemen) ISI Jogjakarta saat ini bukanlah hal yang instan. “Awalnya
ketika kuliah di ISI, cita-cita tentu menjadi pelukis,” ucap suami dari Rina
Kurniati ini.
Bahkan Mikke membuat sejumlah
lukisan sejak masuk kuliah tahun 1993 hingga tahun 1997. Namun, di
pertengahan kuliah itu dirinya merasa
krisis identitas.
Mikke merasa, tidak akan lulus
menjadi pelukis professional. “Padahal, pameran lukisan selalu jalan. Saya
sudah 120 kali melakukan pameran lukisan
waktu itu,” jelasnya.
Hingga akhirnya lulus tahun
1998, ada krisis identitas dan melihat peluang menjadi penulis sangat besar. Karena
memang tidak banyak yang terjun dalam dunia ini dan dirinya pun memberanikan
diri untuk memulai kerja professional menjadi penulis.
Ayah dari Abad Akbar Muhammad
dan Bintang Tanah Timur ini kemudian mendapatkan kerja yang sangat pas dengan keinginannya
menjadi penulis. Dirinya bekerja menjadi arsiparis, yakni petugas yang mengurus
arsip di LSM Indonesia Visual Art Arkaif. “Saya bekerja disana selama 2 tahun
sehingga bacaan dan literasi lebih kuat,” jelasnya.
Sehingga alumnus Magister Pasca Sarjana
UGM dan tengah menempuh Doktoral di UGM juga ini pun kemudian bisa belajar
tentang system manajemen, sejarah seni, ekonomi seni serta seni sendiri. “Akhirnya tahun 2000
secara total memilih menjadi penulis, utamanya tentang seni,” tuturnya.
Selama ini, dia bekerja untuk
melakukan pengkajian seni. “Menulis untuk membuat kritik kebudayaan, terutama
seni rupa,” jelasnya. Mikke merasa itu sebagai momentum yang harus di isi
karena menjadi hal kosong dalam hala seni Indonesia. Dunia kritik sangat jarang
di lakukan dan sulit di pilih anak-anak muda.
Dirinya melihat mungkin anak
muda ini tidak berani. Karena perlu ketrampilan menulis dan jaringan komunikasi
dengan banyak orang. Mikke menyebut jika ada beberapa buku menyangkut seni
rupa, arsitektur, kebudayaan umum, termasuk agama dan seni yang sudah menjadi
karyanya. “Buku Jiehan ini buku ke-25. Sudah ada tujuh buku yang sedang kami
siapkan,” jelasnya.
Selama menjadi curator, dirinya
menemukan banyak kelemahan pada pelukis di Indonesia.”Kelemahan bukan pada
karya, kelemahan pelukis Indonesia itu pada manajemen personal,” jelasnya.
Seorang pelukis memiliki ketrampilan teknik tetapi kadang tidak di imbangi
dengan ketrampilan sosial untuk berhubungan dengan orang lain.
Di mana seniman ini kadang lebih
memikirkan untuk dirinya sendiri, padahal hidup bermasyarakat juga harus
seimbang. “Juga ketrampilan financial susah. Menjadi pelukis seharusnya sama
dengan pengusaha, tapi di sisi lain punya idealisme,” jelasnya.
Sehingga seniman harus
melengkapi ketrampilan itu, supaya tau berstrategi yang efektif . “Hidup itu
pendek. Kalau bisa eksis sejak muda. Jangan tua bisa eksis,” jelasnya
memberikan masukan untuk para pelukis di Indonesia.
Pihaknya juga menyampaikan bahwa peluang jadi curator alias kritikus
seni sangat besar. “Contohnya di Indonesia tiap tahun lahir 100 pelukis, belum
tentu lahir seorang kritikus,” terangnya. Padahal, paling baik yakni satu
kritikus mengurusi lima seniman. Jadi bisa di bayangkan berapa jumlah kritikus
yang di butuhkan.
“Indonesia butuh penulis untuk mengangkat budaya masing-masing local
itu,” jelasnya. Karena kritikus atau curator yang memberi masukan awalnya
kepada pelukis namun kemudian seperti symbiosis mutualisme. Sehingga pelukis pun
harus mampu menaikkan pamor di hadapan curator
agar karyanya juga di kenal oleh masyarakat. (ram/c1/hdi)
SUMBER:
JP-RJ Kamis 14 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar