Selasa, 23 Januari 2018

Mikke Susanto, Kurator Seni Lukis Istana Presiden asal Jember



Saat Kuliah, Pernah 120 Kali Pameran Lukisan


Mikke Susanto, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta asal Jember, di kenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa, khususnya seni lukis. Bahkan kemampuannya sebagai kurator andalan ini membuatnya berhasil menembus istana kepresidenan RI.

                                            
    RANGGA MAHARDIKA, Jember    


                LOMBA Desain Mural Tingkat Nasional yang di gelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Jember ternyata sangat istimewa. Bagaimana tidak, salah satu dewan juri yang datang berkelas internasional. Dia adalah Mikke Susanto.

                Dengan gaya khas seniman (rambut gondrong), tampak dirinya tidak istimewa di bandingkan sejumlah pelukis yang hadir dalam lomba tersebut. Bahkan, dia tampak ramah menyapa orang yang ada di sana.

                Siapa sangka, pria yang lahir di Kencong-Jember, 22 Oktober 1973 ini, adalah salah satu curator atau kritikus seni rupa di istana kepresidenan RI. Bahkan, kini dirinya tengah di minta istana  untuk menilai  sejumlah barang seni utamanya lukisan yang ada di istana dan lembaga pemerintah yang lainnya.

                Tetapi, semua kesuksesan pria yang kini menjadi dosen  di Tata Kelola Seni (Art Manajemen) ISI Jogjakarta saat ini bukanlah hal yang instan. “Awalnya ketika kuliah di ISI, cita-cita tentu menjadi pelukis,” ucap suami dari Rina Kurniati ini.

                Bahkan Mikke membuat sejumlah lukisan sejak masuk kuliah tahun 1993 hingga tahun 1997. Namun, di pertengahan  kuliah itu dirinya merasa krisis identitas.

                Mikke merasa, tidak akan lulus menjadi pelukis professional. “Padahal, pameran lukisan selalu jalan. Saya sudah  120 kali melakukan pameran lukisan waktu itu,” jelasnya.

                Hingga akhirnya lulus tahun 1998, ada krisis identitas dan melihat peluang menjadi penulis sangat besar. Karena memang tidak banyak yang terjun dalam dunia ini dan dirinya pun memberanikan diri untuk memulai kerja professional menjadi penulis.

                Ayah dari Abad Akbar Muhammad dan Bintang Tanah Timur ini kemudian mendapatkan kerja yang sangat pas dengan keinginannya menjadi penulis. Dirinya bekerja menjadi arsiparis, yakni petugas yang mengurus arsip di LSM Indonesia Visual Art Arkaif. “Saya bekerja disana selama 2 tahun sehingga bacaan dan literasi lebih kuat,” jelasnya.

                Sehingga alumnus Magister Pasca Sarjana UGM dan tengah menempuh Doktoral di UGM juga ini pun kemudian bisa belajar tentang system manajemen, sejarah seni, ekonomi seni  serta seni sendiri. “Akhirnya tahun 2000 secara total memilih menjadi penulis, utamanya tentang seni,” tuturnya.

                Selama ini, dia bekerja untuk melakukan pengkajian seni. “Menulis untuk membuat kritik kebudayaan, terutama seni rupa,” jelasnya. Mikke merasa itu sebagai momentum yang harus di isi karena menjadi hal kosong dalam hala seni Indonesia. Dunia kritik sangat jarang di lakukan dan sulit di pilih anak-anak muda.

                Dirinya melihat mungkin anak muda ini tidak berani. Karena perlu ketrampilan menulis dan jaringan komunikasi dengan banyak orang. Mikke menyebut jika ada beberapa buku menyangkut seni rupa, arsitektur, kebudayaan umum, termasuk agama dan seni yang sudah menjadi karyanya. “Buku Jiehan ini buku ke-25. Sudah ada tujuh buku yang sedang kami siapkan,” jelasnya.

                Selama menjadi curator, dirinya menemukan banyak kelemahan pada pelukis di Indonesia.”Kelemahan bukan pada karya, kelemahan pelukis Indonesia itu pada manajemen personal,” jelasnya. Seorang pelukis memiliki ketrampilan teknik tetapi kadang tidak di imbangi dengan ketrampilan sosial untuk berhubungan dengan orang lain.

                Di mana seniman ini kadang lebih memikirkan untuk dirinya sendiri, padahal hidup bermasyarakat juga harus seimbang. “Juga ketrampilan financial susah. Menjadi pelukis seharusnya sama dengan pengusaha, tapi di sisi lain punya idealisme,” jelasnya.

                Sehingga seniman harus melengkapi ketrampilan itu, supaya tau berstrategi yang efektif . “Hidup itu pendek. Kalau bisa eksis sejak muda. Jangan tua bisa eksis,” jelasnya memberikan masukan untuk para pelukis di Indonesia.

                Pihaknya juga menyampaikan  bahwa peluang jadi curator alias kritikus seni sangat besar. “Contohnya di Indonesia tiap tahun lahir 100 pelukis, belum tentu lahir seorang kritikus,” terangnya. Padahal, paling baik yakni satu kritikus mengurusi lima seniman. Jadi bisa di bayangkan berapa jumlah kritikus yang di butuhkan.

                “Indonesia butuh penulis  untuk mengangkat budaya masing-masing local itu,” jelasnya. Karena kritikus atau curator yang memberi masukan awalnya kepada pelukis namun kemudian seperti symbiosis mutualisme. Sehingga pelukis pun harus mampu menaikkan pamor di hadapan curator  agar karyanya juga di kenal oleh masyarakat. (ram/c1/hdi)

SUMBER: JP-RJ Kamis 14 Desember 2017       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenang Wartawan Senior Jawa Pos, H Khariri Mahmud

Rela Jualan Bakso Demi Kuliahkan Dua Puterinya                 Keluarga besar alumni wartawan dan karyawan Jawa Pos yang tergabung ...