Juara Satu
Tangkis Community Competition Jawa Pos
Kekerasan
seksual yang di alami anak-anak memang memprihatinkan. Kebanyakan, pelaku
kekerasan itu karena pernah menjadi korban saat kecil. Untuk itulah, C-Phe
Studies ingin memutus mata rantai tersebut.
BAGUS SUPRIADI, Jember Kota
KEKERASAN seksual terhadap anak masih
kerap terjadi di beberapa daerah di Jember. Ha itu tak hanya di alami oleh anak
SD, bahkan pelajar tingkat TK dan PAUD juga kerap menjadi korban. Sayangnya,
sedikit sekali yang peduli dengan permasalahan tersebut.
Selain
itu, fenomena kekerasan seksual terjadi karena pelaku pernah mengalami
kekerasan seksual saat masih kecil. Sehingga, dia melakukan hal yang sama. Bahkan.
Sebagian dari mereka juga memiliki kecenderungan seksual yang berbeda, memilih
menjadi LGBT.
Nah,
fenomena seperti itulah yang di tangkap oleh enam orang yang merupakan Dosen
dan Mahasiswa dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unej.
Kesadaran
mereka muncul karena keprihatinan melihat ancaman kekerasan seksual yang
semakin nyata.
“Sejak
2014 kami sudah bergerak di bidang ini,” kata Dewi Rokhmah, ketua komunitas
tersebut. Saat itu, dia melakukan penelitian tentang kekerasan seksual di
Jember, terutama LGBT. Hasil penelitian itu menyentuh hatinya dan tergerak
untuk berkontribusi mencegah kekerasan seksual.
“Kelainan
seksual terjadi karena saat kecil mengalami kekerasan seksual,” ungkapnya. Akhirnya, dia membentuk komunitas bernama
Centre of Public Health Empowerment studies (C-Phe Studies) atau Pusat Studi
Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat. Sekarang, mereka berdiri dari enam anggota,
yakni Dewi Rokhmah, Ninna Rohmawati, Anita Dewi M, Prehatin Tri RN, Desy Iswari
Amalia dan Retno Dwi Astuti.
Ke
enam orang tersebut terus bergerak memberikan pemahaman tentang pencegahan
kekerasan seksual. Mulai dari masuk ke pengajian ibu-ibu, lembaga TK, PAUD dan
SD, SLB. Kemudian, paguyuban wali murid, dharma wanita, PKK dasa wisma dan
lainnya. “Tak hanya orang tua, tetapi anak-anak juga kami berikan pemahaman,”
tambah Ninna Rohmawati.
Pada
kelompok tersebut, C-Phe Studies memberikan edukasi tentang pendidikan seks.
Selama ini, porsi pendidikan seks bagi anak-anak sangat sedikit. Bahkan juga
terbatas. Padahal sangat penting untuk pertumbuhan mereka.
Tak
hanya itu, pemahaman orang tua juga rendah, bahkan masih terkesan tabu.
Sehingga mereka tak mengajarkan anak-anaknya tentang seks. Pendidikan tentang
seks di sesuaikan dengan kebutuhan usia sang anak.
Untuk
itulah, komunitas tersebut memberikan edukasi pada orang tua dan guru untuk
mendidik anak agar terhindar dari kekerasan seksual. Salah satunya caranya
adalah dengan membangun komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak.
Selain itu, ayah juga harus ikut berperan aktif
dalam pendidikan anaknya sehingga pola asuh seimbang.
Kepada
anak yang masih berumur satu sampai tiga tahun, komunitas ini memberikan
pemahaman tentang perbedaan antara laki dan perempuan. Sehingga mereka bisa
mengenali diri-sendiri. Selain itu, materi yang di ajarkan juga tentang toilet training.
Yakni,
menjelaskan pada anak-anak agar mandi di kamar mandi, bukan di tempat terbuka.
Jika mandi, maka tidak boleh berdua dengan teman-temannya. Selain itu, juga
tidak boleh menyentuh tujuh lubang manusia, mulai dari mulut hingga kemaluan.
Hal
itu di jelaskan pada anak usia empat tahun keatas. Mereka di ajak untuk
saling menghargai lain jenisnya. “Kami
mengajak agar tidak usil pada siswa yang lain, missal mencolek perempuan,”
tutur Desy iswari. Anak-anak juga perlu di damping dan di batasi dalam
menggunakan gadget dan di ajarkan mengenali teman bergaul anaknya.
Selama
ini, lanjut dia, banyak kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Misal,
siswi di jadikan bahan ejekan oleh siswa dengan menyingkap rok-nya. Bahkan, ada
seorang anak yang bermain permainan hingga melukai kemaluan perempuan.
Sekarang,
anak perempuan mengalami masa menstruasi lebih cepat di bandingkan dulu. Karena
kini kelas 4 SD sudah ada mengalami menstruasi. Hal itu karena pengaruh
tontonan dan makanan yang di konsumsi. Sehingga pendidikan seks begitu penting
bagi pelajar dan orang tua.
“Ada
anak yang melihat orang tuanya sedang melakukan hubungan intim, karena rumahnya
tanpa sekat,”jelasnya. Hal itu menjadikan anak berbuat hal yang aneh ketika di
sekolah. Salah satu contohnya adalah salah seorang siswa menggambar perempuan
dan laki-laki berpelukan sedang berhubungan.
Komunitas
tersebut tak hanya melakukan pembinaan pada pelajar, tetapi juga orang tuanya.
Satu-persatu sekolah mulai meminta pada komunitas C-Phe Studies untuk
memberikan sosialisasi tentang pendidikan seks.
Pemberdayaan
yang di lakukan oleh enam orang itu mampu membuahkan prestasi. Yakni meraih
juara satu dalam kegiatan Tangkis
Community Competition yang di selenggarakan oleh Jawa Pos. Mereka harus
berkompetisi dengan 307 peserta se Indonesia, kemudian di pilih 30 besar
menjadi 15 besar hingga meraih juara satu.
Prestasi
itu di raih karena perwakilan dari Jember mampu melakukan pemberdayaan dari
hulu ke hilir. Selain itu, program ke depan juga sudah tersusun. Mulai dari
kerja sama dengan Psikolog, Pesantren, pusat perlindungan terpadu dan lainnya.
(gus/c1/hdi)
SUMBER: JP-RJ Rabu 13 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar