Sosialisasi Prinsip Reuse, Reduce,
Recycle Ke Warga
Jika
Malang punya kampung warna-warni, maka Jember punya kampoeng Recycle. Sebuah
wilayah di mana warga yang tinggal di sekitarnya memanfaatkan sampah mereka
sendiri untuk di daur ulang dan di manfaatkan sebagai peralatan rumah tangga.
Bahkan ada juga yang tak terlihat seperti barang daur ulang, namun seperti
baru.
LINTANG ANIS BENA K-Kaliwates
BERANGKAT dari inisiasi bank sampah,
kelompok ibu-ibu PKK RW 40, Perumahan Taman Gading bersama sekelompok anak muda
yang tergabung di Komunitas GenBI meresmikan hadirnya Kampoeng Recycle. Sebuah
area di mana masyarakat sekitar memanfaatkan sampah mereka untuk di daur ulang
dan kembali di gunakan untuk sehari-hari.
Ya,
warga memanfaatkan sampah rumah tangga yang bisa di gunakan kembali, untuk
mengurangi dampak globalisasi. Bukan membuang sampah pada tempatnya, namun
menyimpan sampah.
Penyimpanan
ini bukan berarti di masukkan ke dalam saku baju atau celana, tetapi di tabung
di bank. Lho, bank seperti apa?
Ide
utamanya adalah mengajak warga, terutama ibu-ibu rumah tangga, untuk menyimpan
sampah di rumah mereka. Sampah yang di maksud hanyalah sampah kering seperti
kertas bekas, bungkus minyak goreng, botol sirup, botol dan gelas air mineral,
sampai kardus. “Semua sampah kering itu sebenarnya bermanfaat dan memiliki
nilai ekonomis,” ujar Novita Armi Pertiwi, ibu ketua PKK RW 40.
Harganya
pun beragam. Biasanya, kata Novi, pengepul sudah memberikan patokan. “Misalnya
per kilogram bungkus plastik di hargai Rp 500, kertas HVS Rp 1.500, kertas
koran Rp 2.000, kardus Rp 1.500, wadah plastik Rp 2.500, hingga besi tua mulai
dari Rp 4.000. Tidak hanya itu, sepatu yang rusak pun masih laku di jual ke
pengepul, terutama yang bahannya kulit,” terangnya.
Nantinya,
dalam satu periode tertentu, sampah yang telah di kumpulkan akan di serahkan
kepada pengurus Bank Sampah, untuk kemudian di jual ke pengepul. Hasil yang di
peroleh dari penjualan tersebut di simpan dalam berbagai bentuk, dan dapat di
ambil jika ibu-ibu membutuhkannya.
Istimewanya,
hasil ini tak melulu berupa uang, tetapi bisa berupa produk seperti sembako.
“Kita setornya ke pengepul kan di hitung dalam kiloan. Kemudian setelah di
hitung, di distribusikan berdasarkan berapa kilo ibu-ibu menyetornya. Nanti
kita bagi lagi ke masyarakat jika mereka ingin mengambilnya,” kata wanita
berhijab tersebut.
Namun,
perjuangannya mengajak warga menabung sampah ternyata tidak mudah. Ketika awal
mula dia memaparkan program tersebut bersama dengan program koperasi sembako ke
jajaran pengurus PKK RW, justru ide tersebut tidak di minati sama sekali.
“Alasannya yang pertama wegah, kenapa harus ngumpulin sampah banyak-banyak. Mau
di apakan sampah itu?” Kata dia.
Dirinya
tidak heran dengan berbagai sikap kontra yang muncul, sebab konsep bank sampah
memang terbilang masih baru khususnya pada ibu-ibu rumah tangga. Karena itu,
bersama tujuh pengurus bank sampah yang lain, dirinya terus menggalakkan
sosialisasi kepada masyarakat khususnya di RW 40.
“Kami
ingin memberikan sosialisasi mengenai
kesadaran reuse, reduce, recycle
kepada masyarakat.Reuse adalah
bagaimana kita melakukan penggunaan ulang atas sebuah barang, reduce adalah mengurangi penggunaan
barang-barang yang tidak bisa di daur ulang, sedangkan recycle adalah memilah sampah yang masih bisa di daur ulang,”
tegasnya.
Sampah lain yang masih bisa di
manfaatkan, misalnya kotak dan kaleng yang masih bagus, bisa di sulap menjadi
barang yang cantik. Salah satu caranya yaitu lewat decoupage, seni mendaur ulang barang-barang bekas dengan cara
menempeli barang tersebut dengan kertas tisu beraneka gambar. Seni kerajinan
tangan ini kini menjadi salah satu aktivitas yang dia lakukan bersama para
warga di kawasan tempat tinggalnya.
Berangkat dari sini, Novita kini
menganggap seni decoupage sebagai
aktivitas yang bisa di lakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Tidak hanya menyulap
barang bekas, tetapi juga barang-barang rumah tangga yang sudah lama. “Dari
pada beli baru, mau di buang juga sayang, akhirnya di-deco aja,” ungkapnya.
Dua kegiatan tersebut merupakan
agenda utama yang menjadi aktivitas rutin di Kampoeng Recycle. Kampoeng Recycle
sendiri memang baru di resmikan di RT 6, beberapa waktu lalu. “Sekarang masih
di satu RT, sedangkan RT lainnya akan menonjolkan ciri khas masing-masing. Ini
yang sedang kami rancang,” lanjut wanita berhijab tersebut.
Sebagai langkah berikutnya,
dirinya berencana menjajaki kemungkinan RT lainnya untuk menjadi kampong sentra
kuliner. Sebab hampir seluruh warga nya di RT 2 memiliki bisnis kuliner. “Banyak
yang berjualan masakan. Ini bisa kita usung, kita manfaatkan sebagai identitas
RT,” ujar Novita. Jika semua RT di sana bisa mengusung keunikan masing-masing,
bukan tidak mungkin satu wilayah tersebut bisa menjadi sebuah kampong kreatif. “Nanti hashtag-nya #RW40Kreatif,”
selorohnya.
Wacana ini bukan tanpa sebab.
Dia mendengar bahwa di Taman Gading, akan di buka sebuah area wisata kebun
seluas kurang lebih dua hektar yang berisi berbagai tanaman buah. Pengunjung
bisa memetik sendiri buah yang di panen. “Ini jadi alternative wisata baru bagi
warga sekitar. Nantinya kalau ini jadi di buka, kampong kreatif ini bisa ikut
sinergi dalam ekonomi, otomatis punya nilai jual, pengunjung bisa mampir ke
sini,” kata Novita.
Namun dirinya menyadari langkah
panjang yang di butuhkan oleh pengurus
Kampoeng Recycle. Karena itu bersama sinergi dengan komunitas dan instansi
terkait, Novita dan pengurus lainnya ingin terus mengembangkan Kampoeng Recycle
dan memperluasnya menjadi Kampung Kreatif. (lin/sh)
SUMBER :
JP-RJ Senin 25 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar