Malamnya
Pakai Baju Mini, di Kampus Berjilbab
Kehidupan duniia gemerlap tidak
akan lepas dari sosok cewek-cewek cantik selaku penghibur. Begitu juga dengan
hiburan malam yang ada di Jember. Seperti apa kehidupan sehari-hari para
perempuan yang di sebut LC (lady companion atau lady escort) setelah semalaman
begadang dengan lelaki yang
mem-bookingnya?
RANGGA
MAHARDIKA, Jember Kota
JAM
tangan sudah menunjukkan sekitar pukul 01.00 WIB. Namun suasana di salah satu
tempat hiburan ini masih saja ramai. Meskipun sepintas tampak sudah tutup.
Namun, aktifitas di dalam masih cukup ramai. Konon, ini untuk menyiasati aturan
tempat hiburan yang harus tutup pukul 00.00 WIB.
Begitu juga dengan dua sosok
perempuan dengan pakaian minim yang tampak menunggu jemputan. Saat mereka di
tawari di ajak untuk melanjutkan ke tempat lain mereka menolak halus.
“Ndak Mas, besok harus kuliah,”
ucap perempuan sekitar 20 tahun-an yang
ternyata mahasiswi di salah satu Unifersitas Negeri di Jember ini.
Dia mengaku sudah masuk semester
8. Sehingga waktu kuliah sudah tidak terlalu padat di bandingkan saat awal-awal
kuliah. Hani, sebut saja namanya demikian. Dia mengaku berasal dari
Probolinggo. Menjadi LC alasannya Cuma iseng. “Dari pada diem di kosan. Kuliah juga sudah tidk banyak,” terangnya.
Benar saja. Jawa Pos Radar Jember pernah memergokinya di sekitar kampus. Namun
penampilannya siang itu berbeda betul. Tak terlihat keseksiannya seperti malam
saat Jawa Pos Radar Jember menemuinya di sekitar tempat dugem.
Siang itu Hani berkerudung. Ya,
memakai jilbab layaknya muslimah. Penasaran, wartawan koran ini pun lantas
menyapanya. Lalu menggodanya dengan beberapa pertanyaan nakal. Hani merespons.
“Ya kuliah Mas, masak mau make baju kayak
malam-malam itu,”katanya enteng, lalu tersenyum.
Dia mengaku, tak banyak orang
yang tau aktifitasnya sebagai LC. Lebih-lebih keluarganya. “Gak ada yang tahu.
Kalau keluarga taunya kuliah,” ucapnya tersenyum.
Biasa nya, usai dari kampus
dirinya tidak langsung pulang. Tiga hari sekali dia melakukan perawatan di beauty centre dan juga memanjakan diri
di salon. Dalam sekali nyalon cukup
banyak biaya yang di keluarkan. “Kalau hanya perawatan biasa paling Rp 200 rb.
Tapi kalau full ya bisa hampir Rp 500
ribu- 1 juta,” tuturnya.
Biaya itu masih mencukupi dengan
pendapatan hariannya menjadi pendamping bernyanyi dengan bayaran sekitar Rp 400
ribu-500 ribu perhari. Selebihnya, biasanya untuk berbelanja sepatu dan pakaian
terbaru. Tidak mau membeli di pusat pertokoan karena biasanya memilih butik.
“Kalau baju cari yang limited edition.
Malu kalau ada yang sama,” paparnya.
Jika Hani hanya sekadar iseng,
berbeda dengan rekannya Asti, juga bukan nama sebenarnya. Dia memang bukan anak
kuliahan. Dia cuma lulusan sebuah SMK Negeri di Jember. Dia mengaku, terpaksa
menjadi LC karena kebutuhan hidup.
“Kalau di rumah ngakunya kerja di toko pagi hari dan di kafe saat malam,”
terang Asti.
Hal ini dia lakukan untuk
membantu perekonomian keluarga. Meskipun di hati kecilnya dirinya ingin
melanjutkan kuliah seperti rekan-rekan
yang lainnya. Namun, sepertinya keinginan itu belum bisa di realisasikan dalam
waktu dekat. Dirinya mengaku masih menabung untuk kebutuhan lainnya di rumah.
Ternyata, mereka kebanyakan
menyembunyikan pekerjaan bukan hanya di hadapan keluarga, namun juga pacarnya.
Karena dia mengaku sulit mencari pria yang menerima perempuan dengan
pekerjaan seperti itu. “Paling kalau
mau, sudah suami orang,” ucapnya di sertai tawa yang meledak. Dan hal itu, di
akuinya sudah lumrah terjadi di kalangan LC, yakni menjadi simpanan pria lelaki
hidung belang.
Asti buru-buru meluruskan, tidak
semua LC begitu. Namun, dia mengaku tahu betul mana saja rekannya yang menjadi
simpanan pria-pria hidung belang itu. “Biasanya rumahnya di kontrakan. Kalau
tidak ya di carikan kosan yang bebas,” jelasnya. Meskipun di jadikan simpanan,
masih di bolehkan untuk bekerja menjadi LC.
“Yang beruntung dapat pengusaha
muda, masih bujang dan menjadikan kami istri,” ucapnya. Namun, menurut Asti, hal
itu rasanya mustahil.
Asti juga mengaku, suatu waktu
dia akan mentas dari dunia kelam itu. Dia berharap suatu saat kelak bisa
memiliki usaha atau menjadi pekerja kantoran dan membina rumah tangga yang
baik.
Sementara itu, bagi para LC ini
ternyata ada hal yang cukup menjadi tanda LC berkelas atau tidak. Biasanya
mereka memilih kosan yang bebas, baik menerima tamu maupun jam pulang. Karena
rata-rata mereka pulang dini hari bahkan pagi hari. Untuk kosan mereka
rata-rata mencari yang fasilitasnya lumayan dan bertarif Rp 1 juta sebulan.
Ada juga yang memilih ngekost
yang tarifnya sampai Rp 2,5 juta per bulan. Itu juga fasilitasnya sangat
memadai. Asti lantas member tahu kos-kosan bertarif mahal itu. “Kalau yang di
kosan itu (bertarif mahal), biasanya LC sudah menjadi pekerjaan hariannya,”
jelasnya.
Jawa Pos Radar Jember lantas mencoba menelusuri kos-kosan istimewa
tersebut. Cukup rumit juga untuk bisa masuk ke tempat kos itu. Di Tanya
macam-macam sama penjaganya. Akhirnya, setelah beralasan survey karena ada teman yang mau nge kos di sana, wartawan koran ini bisa masuk.
Begitu masuk ke dalam, sepintas
bukan seperti kos-kosan. Melainkan mirip penginapan mewah. Halaman parkir cukup
luas. Banyak mobil parkir di sana. Kamarnya juga lumayan luas sekitar 3 x 5 meter. Ada kamar mandi, dapur dan fasilitas
AC serta lemari es. (c1/ras)
SUMBER:
JP-RJ Senin 4 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar