Sabtu, 13 Januari 2018

Mengintip Gaya Hidup Para Lady Companion



                                   Malamnya Pakai Baju Mini, di Kampus Berjilbab


                Kehidupan duniia gemerlap tidak akan lepas dari sosok cewek-cewek cantik selaku penghibur. Begitu juga dengan hiburan malam yang ada di Jember. Seperti apa kehidupan sehari-hari para perempuan yang di sebut LC (lady companion atau lady escort) setelah semalaman begadang dengan lelaki  yang mem-bookingnya?

                                             
   RANGGA MAHARDIKA, Jember Kota

                JAM tangan sudah menunjukkan sekitar pukul 01.00 WIB. Namun suasana di salah satu tempat hiburan ini masih saja ramai. Meskipun sepintas tampak sudah tutup. Namun, aktifitas di dalam masih cukup ramai. Konon, ini untuk menyiasati aturan tempat hiburan yang harus tutup pukul 00.00 WIB. 

                Begitu juga dengan dua sosok perempuan dengan pakaian minim yang tampak menunggu jemputan. Saat mereka di tawari di ajak untuk melanjutkan ke tempat lain mereka menolak halus.

                “Ndak Mas, besok harus kuliah,” ucap perempuan sekitar 20 tahun-an  yang ternyata mahasiswi di salah satu Unifersitas Negeri di Jember ini.

                Dia mengaku sudah masuk semester 8. Sehingga waktu kuliah sudah tidak terlalu padat di bandingkan saat awal-awal kuliah. Hani, sebut saja namanya demikian. Dia mengaku berasal dari Probolinggo. Menjadi LC alasannya Cuma iseng. “Dari pada diem di kosan. Kuliah juga sudah tidk banyak,” terangnya.

                Benar saja. Jawa Pos Radar Jember  pernah memergokinya di sekitar kampus. Namun penampilannya siang itu berbeda betul. Tak terlihat keseksiannya seperti malam saat Jawa Pos Radar Jember menemuinya di sekitar tempat dugem.

                Siang itu Hani berkerudung. Ya, memakai jilbab layaknya muslimah. Penasaran, wartawan koran ini pun lantas menyapanya. Lalu menggodanya dengan beberapa pertanyaan nakal. Hani merespons. “Ya kuliah Mas, masak mau make baju kayak malam-malam itu,”katanya enteng, lalu tersenyum.

                Dia mengaku, tak banyak orang yang tau aktifitasnya sebagai LC. Lebih-lebih keluarganya. “Gak ada yang tahu. Kalau keluarga taunya kuliah,” ucapnya tersenyum.

                Biasa nya, usai dari kampus dirinya tidak langsung pulang. Tiga hari sekali dia melakukan perawatan di beauty centre dan juga memanjakan diri di salon. Dalam sekali nyalon cukup banyak biaya yang di keluarkan. “Kalau hanya perawatan biasa paling Rp 200 rb. Tapi kalau full ya bisa hampir Rp 500 ribu- 1 juta,” tuturnya.

                Biaya itu masih mencukupi dengan pendapatan hariannya menjadi pendamping bernyanyi dengan bayaran sekitar Rp 400 ribu-500 ribu perhari. Selebihnya, biasanya untuk berbelanja sepatu dan pakaian terbaru. Tidak mau membeli di pusat pertokoan karena biasanya memilih butik. “Kalau baju cari yang limited  edition. Malu kalau ada yang sama,” paparnya. 

                Jika Hani hanya sekadar iseng, berbeda dengan rekannya Asti, juga bukan nama sebenarnya. Dia memang bukan anak kuliahan. Dia cuma lulusan sebuah SMK Negeri di Jember. Dia mengaku, terpaksa menjadi  LC karena kebutuhan hidup. “Kalau di rumah ngakunya kerja di toko pagi hari dan di kafe saat malam,” terang Asti.

                Hal ini dia lakukan untuk membantu perekonomian keluarga. Meskipun di hati kecilnya dirinya ingin melanjutkan kuliah  seperti rekan-rekan yang lainnya. Namun, sepertinya keinginan itu belum bisa di realisasikan dalam waktu dekat. Dirinya mengaku masih menabung untuk kebutuhan lainnya di rumah.

                Ternyata, mereka kebanyakan menyembunyikan pekerjaan bukan hanya di hadapan keluarga, namun juga pacarnya. Karena dia mengaku sulit mencari pria yang menerima perempuan dengan pekerjaan  seperti itu. “Paling kalau mau, sudah suami orang,” ucapnya di sertai tawa yang meledak. Dan hal itu, di akuinya sudah lumrah terjadi di kalangan LC, yakni menjadi simpanan pria lelaki hidung belang.

                Asti buru-buru meluruskan, tidak semua LC begitu. Namun, dia mengaku tahu betul mana saja rekannya yang menjadi simpanan pria-pria hidung belang itu. “Biasanya rumahnya di kontrakan. Kalau tidak ya di carikan kosan yang bebas,” jelasnya. Meskipun di jadikan simpanan, masih di bolehkan untuk bekerja menjadi LC.

                “Yang beruntung dapat pengusaha muda, masih bujang dan menjadikan kami istri,” ucapnya. Namun, menurut Asti, hal itu rasanya mustahil.

                Asti juga mengaku, suatu waktu dia akan mentas dari dunia kelam itu. Dia berharap suatu saat kelak bisa memiliki usaha atau menjadi pekerja kantoran dan membina rumah tangga yang baik.

                Sementara itu, bagi para LC ini ternyata ada hal yang cukup menjadi tanda LC berkelas atau tidak. Biasanya mereka memilih kosan yang bebas, baik menerima tamu maupun jam pulang. Karena rata-rata mereka pulang dini hari bahkan pagi hari. Untuk kosan mereka rata-rata mencari yang fasilitasnya lumayan dan bertarif Rp 1 juta sebulan.

                Ada juga yang memilih ngekost yang tarifnya sampai Rp 2,5 juta per bulan. Itu juga fasilitasnya sangat memadai. Asti lantas member tahu kos-kosan bertarif mahal itu. “Kalau yang di kosan itu (bertarif mahal), biasanya LC sudah menjadi pekerjaan hariannya,” jelasnya.

                Jawa Pos Radar Jember lantas mencoba menelusuri kos-kosan istimewa tersebut. Cukup rumit juga untuk bisa masuk ke tempat kos itu. Di Tanya macam-macam sama penjaganya. Akhirnya, setelah beralasan survey karena ada teman yang mau nge kos  di sana, wartawan koran ini bisa masuk.

                Begitu masuk ke dalam, sepintas bukan seperti kos-kosan. Melainkan mirip penginapan mewah. Halaman parkir cukup luas. Banyak mobil parkir di sana. Kamarnya juga lumayan luas sekitar 3 x  5 meter. Ada kamar mandi, dapur dan fasilitas AC serta lemari es. (c1/ras)

SUMBER: JP-RJ Senin 4 Desember 2017   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenang Wartawan Senior Jawa Pos, H Khariri Mahmud

Rela Jualan Bakso Demi Kuliahkan Dua Puterinya                 Keluarga besar alumni wartawan dan karyawan Jawa Pos yang tergabung ...