Ruang Mulai
Ambrol, Terpaksa Belajarnya Ngungsi ke Masjid
Di tengah
hingar bingar eks lokalisasi Besini di Dusun Krajan, Desa Puger Kulon,
Kecamatan Puger ternyata ada sebuah pusat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Namanya PAUD Nurul Ikhsan. Meski ruangnya mulai bobrok, namun bangunan yang
dulu di pakai sebagai ruang kesehatan itu tetap di optimalkan.
GEDUNG
yang kondisinya sangat tidak layak itu memiliki tiga ruangan. Dua ruangan di
pakai sebagai tempat belajar, yang masing-masing luasnya hanya sekitar 5x4
meter saja. Sementara satu ruangan sisanya, di fungsikan sebagai kantor.
Tidak
ada kursi belajar dalam semua ruangan itu. Hanya meja pendek (dampar) dan alas
lantai sebagai tempat duduk para siswa. Bahkan, di ruang utama yang di pakai
belajar, juga teronggok sebuah kasur plus bantal.
Bahkan
ruang kantor sekarang nyaris sudah tak berani pakai, karena atapnya jebol.
Rupanya, anak-anak juga takut roboh. Ruangan itu benar-benar salbut.
Ruang
hanya kelihatan sebagai tempat belajar anak-anak, ketika di seluruh tembok
banyak hiasan anak-anak. “Ini rata-rata kreasi anak-anak,” tutur kepala PAUD
Nurul Ikhsan, Nur Nabaiyah, 39, kemarin.
Dia
menyebut, di kelas darurat itu ada sekitar 15 siswa. Sebagian siswa adalah anak
warga perkampungan nelayan di Dusun Tendas, Desa Puger Kulon. Sebagian lainnya
adalah anak-anak warga penghunu eks lokalisasi Besini.
“Awal-awal
berjalannya kegiatan belajar di tempat ini, siswanya mencapai 25 anak. Namun,
seiring berjalannya waktu jumlahnya terus menyusut hingga sekarang tersisa 15
saja,” katanya.
Musim
hujan saat ini ternyata membawa bencana bagi kegiatan belajar di PAUD tersebut.
Pada ahir November lalu (tepatnya tanggal 27/11) salah satu atap amabrol. Ruang
bagian tengah yang paling parah.
“Kami
lantas berinisiatif untuk sementara waktu ngampung di Masjid Nurul Hidayah yang
terletak beberapa meter di sebelah barat PAUD tersebut,” kata kepala PAUD Nurul
Ikhsan ini.
Nur
Nabaiyah adalah sosok di balik perintisan dan pendirian PAUD tersebut. Dia
menyebut, niat awal hanyalah memanfaatkan ruangan (yang tidak di pakai sejak
penutupan lokalisasi Besini pada 2007 silam) tersebut sebagai tempat belajar.
Sebab, di kawasan hitam itu pendidikan anak-anak sangat terabaikan. “Di sini
jauh dari sekolah,” ujar ibu dua anak itu.
Lantar
jauh dari akses pendidikan, banyak anak-anak di Tendas yang tidak pernah
merasakan duduk di bangku sekolah, sekalipun sekolah tingkat dasar. Bahkan,
tidak sedikit dari mereka yang belum bisa melihat sisi penting dari pendidikan.
“Ada
satu keluarga yang terdiri dari 6 anggota keluarga. Tapi tidak ada satupun yang
pernah sekolah. Saat orang tuanya saya tanyai kenapa anaknya tidak di
sekolahkan, mereka menjawab jika hal itu (sekolah, Red) tidak perlu,” tuturnya.
Di
awal pendirian PAUD, Nur Nabaiyah melewati perjuangan. Bagaimana tidak, untuk
membuat kegiatan belajar tetap hidup, dia mesti memangkas jatah rumah tangganya
untuk dialokasikan sebagai kegiatan operasional PAUD. Juga gaji untuk dua guru
yang di rekrutnya untuk membantu. “Awal-awal dulu memang ada SPP, tapi sekarang
udah tidak ada lagi,” ucapnya.
Dia
mengambil kebijakan lunak dalam pemungutan SPP. Sebab, saat warga Tendas mau
menyekolahkan anaknya saja, itu sudah cukup baik.
Padahal,
sebulan sekali dia mesti menggaji dua orang ‘guru’ yang ikut mengajar. Kendati
gajinya tidak besar, hanya Rp 100 ribu per guru. Satu-satunya sumber untuk
menggaji mereka adalah uang pribadinya.
“Itu
jatah rumah tangga dari suami saya. Makanya saat memulai kegiatan ini, saya
izin dulu ke suami. Dan Alhamdulillah suami mendukung,” katanya.
Belum
lama ini, dua pengajar yang menemaninya sejak awal telah mengundurkan diri.
Yang satu berhenti karena menikah dan harus ikut suaminya. Satunya lagi,
berhenti lantaran mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan lebih layak.
Beruntung tidak lama setelah itu Nur Nabaiyah mendapatkan penggantinya.
Bukan
Cuma gaji pengajar yang mesti dia tanggung, tapi juga beragam kebutuhan
operasional sekolah. Juga kebutuhan siswa seperti seragam, buku, dan alat tulis
lainnya.
Nyaris
tidak adanya sumber pendanaan selain dari uang pribadinya. Itu yang membuatnya
tidak kunjung bisa mewujudkan legalitas yayasan. Sebab, yayasan Nur Ikhsan yang
saat ini menaungi PAUD yang di binanya itu, belum memiliki akta pendirian
maupun pengesahan dari kemenkumham. “Kami belum punya biaya untuk mengurus,”
ucapnya.
Hal
itulah yang membuat bantuan lembaga tersebut tertutup dari bantuan luar. Sejak
berdiri, tak pernah memperoleh bantuan
dari pihak luar,” jelas Nur Nabaiyah.
Kendati
demikian, dia tidak terlalu menyoal permasalahkan itu. Hanya, yang dia harapkan
adalah dua pengajar yang membantunya mendidik anak-anak PAUD Nurul Ikhsan bisa
terdata lantas mendapat bantuan honor dari pemerintah. Paling tidak, saat
keduanya masuk dalam pengajar yang berhak penerima honor, Nur Nabaiyah tidak
perlu pagi menyisihkan uang bulanannya dari suami untuk menggaji mereka.
(was/hdi)
SUMBER: JP-RJ Minggu 10 Desember 2017

Tidak ada komentar:
Posting Komentar